body{ background-attachment:fixed; background-size:1024px auto; filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.AlphaImageLoader(src=(bg-body.jpg(, sizingMethod=(scale(); /*IE 8 */ -ms-filter: "progid:DXImageTransform.Microsoft.AlphaImageLoader(src=(bg-body.jpg(, sizingMethod=(scale')"; /*IE 8 */ }

Minggu, 26 Januari 2014

Rumah Adat


RUMAH ADAT DI INDONESIA


1.Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD)  
            Rumah Adat : Rumah Krong Bade


   Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia. Jadi jika ada kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun yang terbakar, tanpa kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau gentong tempat menyimpan air. Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika seseorang ingin memasuki rumah. Karena letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka rumah ini membutuhkan tangga bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah anak tangga biasanya ganjil. Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik dan terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.

2.Provinsi Sumatera Utara (SUMUT) 
Rumah Adat : Rumah Bolon



Batak merupakan sebuah suku di Sumatera Utara. Suku ini memiliki rumah adat yang bernama Rumah Bolon. Bila diartikan bolon adalah besar, artinya rumah bolon adalah rumah besar karena memang ukurannya yang cukup besar. Perancang rumah Bolon ini ialah arsitektur kuno Simalungun. Rumah adat ini sekaligus menjadi simbol status sosial masyarakat Batak yang tinggal di Sumatera Utara.
Dulu rumah adat ini ditinggali orang para raja di Sumatera Utara. Ada 13 kerajaan yang bergantian menempati rumah Bolon, yaitu Tuan Ranjinman, Tuan Nagaraja, Tuan Batiran, Tuan Bakkaraja, Tuan Baringin, Tuan Bonabatu, Tuan Rajaulan, Tuan Atian, Tuan Hormabulan, Tuan Raondop, Tuan Rahalim, Tuan Karel Tanjung, dan Tuan Mogang.Tetapi kini rumah bolon menjadi rumah adat dan menjadi objek wisata di Sumatera Utara. Rumah Bolon memiliki kolong (bagian bawah rumah) yang tingginya sekitar dua meter. Kolong tersebut biasanya dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu, yang sering dipelihara adalah kerbau. Pintu masuk rumah adat ini, dahulunya memiliki dua macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal. Tetapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat
Pada bagian depan rumah Bolon, tepatnya di atas pintu terdapat gorga, sebuah lukisan berwarna merah, hitam, dan putih. Biasanya terdapat lukisan hewan seperti cicak, ular ataupun kerbau.
Dua hewan yang menjadi dekorasi rumah Bolon memiliki makna yang dalam. Pada gorga yang dilukis gambar hewan cicak bermakna, orang batak mampu bertahan hidup di manapun meski dia merantau ke tempat yang jauh sekalipun. Hal ini karena orang batak memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antara sesama sukunya. Sedangkan gambar kerbau bermakna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau telah membantu manusia dalam pekerjaan ladang masyarakat.
Keindahan rumah Bolon masih terus berlanjut. Atap yang menjadi pelindung rumah memiliki ciri khas yang unik. Dua ujung lancip di depan dan di belakang. Namun ujung pada bagian belakang lebih panjang agar keturunan dari yang memiliki rumah lebih sukses nantinya.
3.Provinsi Sumatera Barat (SUMBAR)  
Rumah Adat : Rumah Gadang

Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung. Tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun[2] dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut[3]. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang.
4.Provinsi Riau 
Rumah Adat : Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar

Rumah adat di daerah Riau bernama Selaso Jatuh Kembar. Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat.Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada halhal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai -walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriringkarena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik(Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.
Bangunan Balai Adat Melayu Riau pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna dari setiap ukiran.
·         Selembayung
Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu.
·         Hiasan pada pintu dan jendelah
Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap ramah tamah. Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar.


5.Provinsi Kepulauan Riau
Rumah Adat : Rumah Selaso Jatuh Kembar


6.Provinsi Jambi
Rumah Adat : Rumah Panjang

Rumah Tradisional Suku Dayak Kalimantan. Rumah ini memiliki bentuk memanjang dengan panjang kurang lebih dari 50 meter. Keunikan dari rumah ini terlihat dari bentuk bangunan dan banyaknya kepala keluarga yang tinggal di dalamnya. Namun sayang sekali rumah unik seperti ini suda jarang ditemukan, hanya beberapa bangunan saja yang bertahan dan masih berpenghuni.  
7.Provinsi Sumatera Selatan (SUMSEL)
Rumah Adat : Rumah Limas

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Sumatra Selatan. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua.Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.
8.Provinsi Bangka Belitung (BABEL)
          Rumah Adat : Rumah Rakit, Rumah Limas

Rumah rakit mewakili rumah terapung di sungai Musi. Rumah yang katanya berfungsi sebagai ruang pameran hasil kerajinan dari Sumatera Selatan ini dalam keadaan tertutup
9.Provinsi Bengkulu 
Rumah Adat : Rumah Rakyat


10. Provinsi Lampung 
Rumah Adat :NOWOU SESAT

Rumah Adat Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan
Rumah adat orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.
Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.
Arsitek tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir Saibatin .Begitu memasuki Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan melihat Lamban Dalom Kebandaran Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak Olokgading. Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan “Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir”. Bentuknya sangat unik dan khas dengan siger besar berdiri megah di atas bangunan bagian muka .
Sampai sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun temurun
Meskipun berada di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan acara-acara adat lain. Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Siger yang terbuat dari bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun temurun.Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang sudah ratusan tahun usianya disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas Lampung Pesisir seperti tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat musik khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.

11.Provinsi DKI Jakarta 
Rumah Adat : Rumah Kebaya


12.Provinsi Jawa Barat (JABAR)
Rumah Adat : Rumah Kasepuhan Cirebon

Rumah Kasepuhan atau Keraton Kasepuhan (Cirebon) ditilik dari namanya (Keraton Kasepuhan), rumah ini memang bukan hunian biasa, melainkan tempat bermukim Raja/Sultan Cirebon, sekaligus pusat pemerintahan. Arsitektur bangunan (-bangunan) bersejarah ini merupakan perpaduan unsur budaya Islam, Hindu-Budhha, Kristen (Barat), dan Konfusianisme (China). Keraton Kasepuhan didirikan sekitar tahun 1529 oleh Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Keraton ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati, yang merupakan keraton yang telah ada sebelumnya. Walaupun telah berusia tua, kompleks bangunan tradisional ini masih terawat dengan baik.
Berikut adalah bagian-bagian penting yang terdapat dalam kompleks Keraton Kasepuhan:
  • Pintu Gerbang Utama Keraton Kasepuhan
Pintu gerbang ini terletak di sebelah utara, sementara pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit  berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut LawangSanga (pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg (jembatan) Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton. Di bagian ini terdapat dua bangunan, yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
  • Bangunan Pancaratna
Berada di kiri depan kompleks arah Barat, berdenah persegi panjang, dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi, dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar besi.
  • Bangunan Pangrawit
Berada di kiri depan kompleks menghadap arah Utara. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel. Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi. Nama Pancaniti berasal dari panca berarti jalan, dan niti yang berarti mata atau raja atau atasan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira melatih prajurit, tempat istirahat, dan juga sebagai tempat pengadilan.
Halaman/kompleks dalam keraton kasepuhan Cirebon dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
  • Halaman Pertama
Setelah melewati Pancaratna dan Pancaniti selanjutnya memasuki halaman pertama. Untuk memasukinya, bisa melewati Gapura Adi atau Gapura Banteng. Gapura Adi berupa pintu gerbang berbentuk bentar berukuran 3,70 x 1,30 x 5 m menggunakan bahan bata. Gapura Adi ini berada di utara Siti Inggil. Gapura Benteng berupa pintu gerbang dengan bentuk bentar berukuran 4,50 x 9 m. Pintu ini lebih besar dan tinggi daripada Gapura Adi. Pada pipi tangga sebelah Timur terdapat stilirisasi bentuk banteng.
  • Halaman kedua
Halaman kedua dibatasi tembok bata. Pada pagar bagian Utara terdapat dua gerbang, yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng. Regol Pengada merupakan pintu gerbang masuk halaman ketiga dengan ukuran panjang dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah Timur Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini berbentuk kori agung  (gapura beratap) menggunakan bahan bata.
o   Halaman Ketiga
Halaman ketiga merupakan kompleks inti Keraton Kasepuhan.
13.Provinsi Banten
Rumah Adat : Rumah Badui

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
14.Provinsi Jawa Tengah (JATENG)
Rumah Adat : JOGLO Jawa Tengah.

15.Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) 
Rumah Adat : Bangsal Kencono Dan Rumah Joglo.

Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta adalah rumah adat yang berbentuk pendopo. Keraton merupakan tempat tinggal raja atau ratu. Keraton ini memiliki makna dan filosofi. Filosofi kehidupan hakikat seorang manusia, alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya, serta berbagai perlambangan kehidupan terpendam di dalamnya. Pada bagian depan Bangsal Kencono terdapat 2 patung batu Gupolo, yaitu raksasa yang memegang semacam pemukul berbentuk gada.

16.Provinsi Jawa Timur (JATIM)

          Rumah Adat : Rumah JOGLO Situbondo.

17.Provinsi Bali 
Rumah Adat : Rumah Gapura Candi Bentar.

Rumah Gapura Candi Bentar merupakan rumah adat resmi Provinsi Bali. Hunian tradisional ini tergolong salah satu yang terunik di tanah air. Dalam Rumah Gapura Candi Bentar—dan rumah adat Bali lainnya—nilai-nilai spiritualitas, tradisi, dan estetika, berpadu harmonis menghadirkan pesona kebudayaan yang adiluhung.
Istilah “Gapura Candi Bentar” sendiri sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang pada rumah-rumah tradisional Bali. Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi serupa dan sebangun, tetapi merupakan simetri cermin, yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung dibagian dalam oleh anak-anak tangga yang menjadi jalan masuk.
Selain di Pulau Bali, gapura dengan tipe seperti ini juga bisa dijumpai di Pulau Jawa dan daerah Lombok. Gapura Candi Bentar pertama kali mucul pada zaman Majapahit. Di area bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang serupa ini juga dikenal dengan sebutan “supit urang” (capit udang).Dari segi material, bahan bangungan yang digunakan bergantung pada tingkat kemapanan si pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan bata-bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan, menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk bagi yang ekonominya mampu, sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alang-alang atau genteng

18.Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Rumah Adat : Rumah Istana Sultan Sumbawa

Istana tempat tinggal raja Sumbawa  adalah nama sebuah pulau yang  terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau ini terdapat  dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Sumbawa. Sejarah mencatat, keberadaan Kabupaten Sumbawa atau Tana Samawa ini mulai dikenal sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning (1350-1389). Pada masa itu corak kerajaan masih bersifat hinduistis. Corak hindu pada Dinasti Dewa Awan Kuning berakhir pada masa kepemimpinan Raja Dewa Majaruwa. Raja Dewa Majaruwa memeluk Islam setelah kerajaan menjalin hubungan dengan kerajaan islam demak di Jawa sekitar tahun 1478-1597. Kemudian pada tahun 1623 kerajaan Dewa Awan Kuning ditaklukan oleh Kerajaan Goa sehingga kekuasaan Kerajaan Sumbawa pun berpindah pada Dinasti Dewa Dalam Bawa. Raja pertama begergelar Sultan Hanurasyid 1. Kerajaan ini berkuasa selama 3 abad di tanah Sumbawa. Dan sampai saat ini masih terdapat peninggalan kerajaan berupa rumah istana Sumbawa atau istana dalam loka.
Rumah istana Sumbawa atau Dalam Loka merupakan peninggalan bersejarah dari kerajaan yang berlokasi di kota Sumbawa Besar. Dalam Loka dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931) untuk menggantikan bangunan-bangunan istana yang telah dibangun di tanah tersebut sebelumnya karena telah lapuk dimakan usia bahkan hangus terbakar. Istana-istana itu diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Dalam Loka sendiri berasal dari dua kata yakni dalam yang berarti istana atau  rumah-rumah di dalam istana dan loka yang berarti dunia atau tempat. Jadi, Dalam Loka bermakna istana tempat tinggal raja.
Dalam Loka memiliki luas 696,98 m2 dengan 2 bangunan kembar yang ditopang oleh 98 tiang kayu jati dan 1 buah tiang pendek (tiang guru) yang terbuat dari pohon cabe. Secara keseluruhan jumlah tiang penopang adalah 99 tiang yang melambangkan 99 sifat Allah (asmaul husna). Bangunan dalam loka menghadap ke selatan atu tepatnya ke arah Bukit Sampar dan alun-alun kota. Pertama kali memsuki istana akan ditemukan susunan tangga yang menjadi ssatu-satunya jalan masuk ke istana. Tangga ini menyimbolkan bahwa siapapun harus menghormati raja. Hal ini tercermin dari keharusan membungkuk bagi siapapun yang melewati tangga ini. Di dalam komplek Dalam Loka terdapat dua bangunan kembar yang diberi nama Bala Rea atau graha besar. Bangunan ini tersusun dari beberapa bagian yang memiki fungsi masing-masing.
Di bagian depan bangunan terdapat ruangan bernama Lunyuk Agung yang berfungsi sebagai tempat musayawarah, resepsi atau acara pertemuan lainnya. Di sebelah Lunyuk Agung terdapat ruangan yang bernama Lunyuk Mas, fungsinya adalah sebagai ruangan khusus untuk permaisuri, istri-istri menteri dan staf penting kerajaan ketika dilangsungkan upacara adat. Ada juga yang disebut Ruang Dalam sebelah barat, ruangan-ruangan ini hanya disekat oleh kelambu fungsinya adalah sebagai tempat shalat, di sebelah utaranya merupakan kamar tidur permaisuri dan dayang-dayang. Ruang Dalam sebelah timur terdiri dari empat kamar dan diperuntukan bagi putra/putri raja yang sudah berumah tangga di ujung utara ruangan ini adalah kamar pengasuh rumah tangga istana. Di bagian belakang Bala Rea terdapat ruang sidang, pada malam hari ruangan ini dijadikan tempat tidur para dayang. Kamar mandi terletak di luar ruangan induk yang memanjang dari kamar peraduan raja hingga kamar permaisuri.
Dan yang terakhir adalah Bala Bulo berada di samping Lunyuk Mas, terdiri atas dua lantai, lantai pertama berfungsi sebagai tempat bermain putra/putri raja dan lantai kedua berfungsi sebagai tempat permaisuri dan istri para bangsawan saat menyaksikan pertunjukan di lapangan istana. Di luar komplek ini terdapat kebun istana (kaban alas), gapura atau tembok istana (bala buko), rumah jam (bala jam) dan tempat untuk lonceng istana. Bangunan ini dibangun dari bahan kayu jati yang didatangkan dari hutan jati imung dan atap terbuat dari seng yang didatangkan dari singapura. Arsitek dari bangunan ini adalah Imam Haji Hasyim.
Sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 yang kemudian pada tahun 1954 dijadikan rumah dinas “wisma praja” bupati Sumbawa, keadaan Dalam Loka sudah tidak terawat lagi. Pada tahun 1979 – 1985 dalam loka dipugar kembali oleh Departemen Kebudayaan. Kemudian di tahun 1993 Dalam Loka dijadikan sebagai Museum Dalam Loka. Dan pada tahun 2001 dalam loka mengalami pemugaran kembali yang didanai oleh proyek pelestarian sejarah dan purabakala nusa tenggara barat hasil kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang. Kini dalam loka telah mengalami beberapa kali pemugaran. Terakhir, tahun 2011 dilakukan revitalisasi kompleks Dalam Loka. Hanya saja proses revitalisasi ini masih harus berkesinambungan karena masih banyak yang harus diperbaiki dari bangunan bersejarah ini.
19.Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 
Rumah Adat : Rumah Musalaki

Musalaki adalah rumah khas Pulau Timor (dan pulau-pulau di wilayah Indonesia Timur) yang terbuat dari ijuk, berbentuk bulat, dan berfungsi sebagai dapur atau tempat menyimpan bahan pangan. Di sekitarnya biasanya tumbuh tanaman jagung yang nantinya disimpan di rumah tersebut.
20.Provinsi Kalimantan Barat (KALBAR) 
Rumah Adat : Rumah Istana Kesultanan Pontianak.


21.Provinsi Kalimantan Tengah (KALTENG)
Rumah Adat : Rumah Betang


22.Provinsi Kalimantan Selatan (KALSEL)
Rumah Adat : Rumah Banjar Bubungan Tinggi.

Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari keraton yang menjadi istana kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton) yang disebut Dalam Sirap (bahasa Jawa: ndalem) yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah Balai Seba pada tahaun 1780 pada masa pemerintahan Panembahan Batuah.

23.Provinsi Kalimantan Timur (KALTIM)
Rumah Adat : Rumah Lamin.

Sebagian besar penduduk Kalimantan Timur khususnya suku Dayak hidup secara berkelompok atau kekerabatan suku Dayak sangatlah kuat. Maka hal ini dibuktikan dengan rumah yang mereka bangun, sebagian besar rumah yang dibangun mereka secara berkelompom juga, selalu saja lebih dari 1 kepala kelaurga. Contohnya Rumah Adat Lamin yang diresmikan pada tahun 1987. Rumah yang berbentuk panggung tersebut tidak kurang dihuni 12 kepala keuarga atau skitar 50-100 orang. Diperkirakan ukuran rumah lamin sekitar dengan panjang mencapai 30 meter, lebar 15 meter dan tinggi sekitar 3 meter.
o   Ciri-ciri Rumah Lamin
Setiap rumah adat pastinya mempunya ciri khas yang menjadi daya tarik suku Dayak. Dalam rumah Lamin sendiri ada bebarapa ciri yang sangat kental seperti pada pada ukiran atap ada terdapat patung yang ebrbebtuk naga dan bunrung enggan. Yang mengandung arti kesaktian dan kewajiban masayarakat Dayak. Pada bagian dinding yang paling em,nonjol adalah dari segi warna. Rumah ini dominan dengan warna kuning, putih dan hitam yang berbentuk salur pakis dan mata yang masyarakat percaya mengandung makna suku Dayakmampu niat buruk orang lain yang akan  mencelakakan suku Dayak dan melambangkan persaudaraan suku Dayak. Selain itu juga pada bagian kaki yang berbnetuk ukiran kerangka manusia dan juga binatang wanita memakai kain, serta bentuk semi-abstrakyang melambangkan persaudaraan suku Dayak desa Pampang. Masayarat percya ukiran dan patung tersebut berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat mengingat kepercayaan suku Dayak yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan gaib atau animisme.
Bahan utama bangunan rumah adat Lamin adalah kayu ulin atau banyak orang yang menyebutnya sebagai kayu besi. Disebut kayu besi karena memang jenis kayu tersebut adalah kayu yang sangat kuat. Bahkan banyak orang mengatakan jika kayu ulin terkena air maka justru tingkat kekuatannya akan semakin keras. Mungkin hal inilah yang membuat banyak orang yang membangun rumah di atas dataran rawa atau pinggiran sungai namun tahan lama umur bangunannya. Selain bangunan, totem-totem yang ada di bagian depan Lamin juga terbuat dari bahan kayu ulin. Menurut saya pribadi, bangunan yang terbuat dari bahan kayu ulin memiliki kesan mewah karena warna hitam khasnya. Hanya saja menurut penduduk sekitar saat ini agak sulit untuk mencari pohon ulin karena ada alih konversi lahan serta perambahan hutan-hutan.
Di bagian dalam lamin terdapat beberapa alat yang biasa digunakan dalam melakukan upacara adat tertentu. Di bagian dalam Lamin sempat ada beberapa tengkorak kepala kerbau yang bertuliskan tanggal waktu. Menurut saya tanggal tersebut menunjukkan kapan seseorang tersebut meninggal. Dan juga Saya yakin tengkorak tersebut adalah bagian dari upacara melepas kematian yang biasa dilakukan oleh suku Dayak. ‘Menyembelih’ kerbau adalah rangkaian puncak dari upacara Kuangkai (lihat postingan saya sebelumnya) yang dilakukan untuk upacara kepergian seseorang yang telah meninggal).

24.Provinsi Sulawesi Utara (SULUT)
Rumah Adat : Rumah Pewaris


25.Provinsi Sulawesi Barat (SULBAR)
Rumah Adat : Rumah Tongkonan

                                           
26.Provinsi Sulawesi Tengah (SULTENG)
Rumah Adat : Rumah Tambi

Di Sulawesi Tengah, tempat tinggal penduduk disebut Tambi. Rumah ini merupakan tempat tinggal untuk semua golongan masyarakat.
Bentuk rumah ini segi persegi panjang dengan ukuran rata-rata 7x5 m2, menghadap ke arah utara-selatan, karena tidak boleh menghadap atau membelakangi arah matahari. Sekilas konstuksi rumah ini seperti jamur berbentuk prisma yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk.Keunikan rumah panggung ini adalah atapnya yang juga berfungsi sebagai dinding. Alas rumah tersebut terdiri dari susunan balok kayu, sedangkan pondasinya terbuat dari batu alam. Akses masuk ke rumah ini melalui tangga, jumlahnya berbeda sesuai tinggi rumahnya. Tambi yang digunakan masyarakat biasa memiliki anak tangga berjumlah ganjil dan untuk ketua adat berjumlah genap.
Tiang-tiang penopang rumah ini terbuat dari kayu bonati. Di dalamnya hanya terdapat satu lobona (ruangan utama) yang dibagi tanpa sekat dan memiliki kamar-kamar, hanya pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur) yang sekaligus menjadi penghangat ruangan ketika cuaca dingin. Penghuninya tidur menggunakan tempat tidur yang terbuat dari kulit kayu nunu (beringin).Di sekeliling dinding rumah ini membentang asari (para-para) yang serbaguna,  bisa dijadikan tempat tidur yang berpembatas, tempat penyimpanan benda pusaka atau benda-benda berharga lainnya.
Sebagai hiasan, biasanya rumah ini memiliki ukiran di bagian pintu dan dindingnya. Motif ukiran tersebut terutama berbentuk binatang atau tumbuh-tumbuhan. Terdiri atas ukiran pebaula (kepala kerbau) dan bati (ukiran berbentuk kepala kerbau, ayam dan babi). Pebaula meurpakan simbol kekayaan, dan bati merupakan simbol kesejahteraan dan kesuburan.
Pada motif tumbuhan (pompininie) biasanya terbuat dari beragam kain kulit kayu berwarna-warni, dibentuk menjadi motif bunga-bunga yang kemudian diikat dengan rotan. Kain kulit kayu ini merupakan hasil tenunan tradisional dari kulit kayu nunu dan ivo.  Konon, pompeninie ini memiliki kekuatan magis yang dapat menangkal gangguan roh jahat.
Karena Tambi hanya memiliki satu ruang utama, maka ia memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu Buho (terkadang disebut gampiri). Bangunan yang memiliki dua lantai ini,  berfungsi sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu (lantai bawah), dan sebagai lumbung padi (lantai atas). Karena fungsinya sebagai tempat menerimatamu, maka letaknya tak jauh dari Tambi.
Bangunan lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang disebut iso berbentuk segi empat panjang bertiang 4 buah dan kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso busa
27.Provinsi Sulawesi Tenggara (SULTRA)
Rumah Adat : Rumah Istana Buton / Malige

Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
28.Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL) 
Rumah Adat : Rumah Tongkonan

Mendengar Tana Toraja yang pertama kali terpikir ialah Sulawesi Selatan dan yang kedua adalah rumah tongkonan. Tepat sekali, bahwa rumah tongkonan merupakan rumah adat Tana Toraja. Rumah adat ini memiliki bentuk unik menyerupai perahu dari kerajaan Cina pada zaman dahulu. Tongkonan juga disebut-sebut mirip dengan rumah adat asal Sumatera Barat, yaitu rumah gadang.  Rumah adat inimasih ditinggali sebagai tempat beraktivitas sehari-hari. 
“Tongkonan” sendiri berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk. Tongkonan difungsikan untuk pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja pada zaman dahulu. Rumah ini merupakan warisan secara turun-temurun dari nenek moyang rang Tana Toraja.Rumah ini tidak bisa dimiliki perorangan
Rumah tongkonan dianggap sebagai ibu oleh Masyarakat Toraja. Sedangkan bapaknya adalah alang sura (lumbung padi). Rumah tongkonan memiliki tiga bagian di dalamnya, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Tengalok, yaitu ruangan di bagian utara berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat anak-anak tidur, serta tempat menaruh sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan sebelah utara merupakan ruangan untuk kepala keluarga namun juga dianggap sebagai sumber penyakit.  Ruangan yang terakhir, yaitu ruangan bagian tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, Tongkonan Pekaindoran atau Pekaindoran, dan Togkonan Batu A’riri merupakan jenis tongkonan yang memiliki fungsi secara khusus. Pertama, Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, yaitu tempat untuk menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Jenis kedua Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan, yaitu Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk. Tongkonan Batu A’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.

Utara merupakan arah yang penting bagi rumah adat tongkonan dan masyarakat Tana Toraja. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Utara dan ujung atap yang berdiri berjejer mengarah ke utara merupakan lambing bahwa leluhur mereka berasal dari utara dan di waktunya nanti mereka akan berkumpul kembali di utara.
Kepala kerbau tak bisa dipisahkan dari rumah adat tongkonan. Kepala kerbau menjadi ciri khas dari rumah tongkonan. Kepala kerbau tersebut ditempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan rumah semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut. Tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi keluarga yang mendiami rumah tersebut saat upacara penguburan anggota keluarganya.
Kerbau dikurbankan dalam jumlah yang banyak setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman. Tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Aluk To Dolo merupakan empat warna dasar, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih mewakili kepercayaan asli Toraja. Kematian dan kegelapan dilambangkan dengan warna hitam, sementara kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah merupakan warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sementara daging dan tulang dilambangkan dengan warna putih yang artinya suci.
Di sisi barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Keunikan yang terdapat di rumah tongkonan ialah tidak digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.
Rumat adat Tana Toraja, Tongkonan, oleh pemerintah diajukan untuk masuk dalam daftar warisan budaya dunia United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 2010.

29.Provinsi Gorontalo
Rumah Adat : Rumah Dulohupa dan Rumah Pewaris.

Salah satu dari banyak rumah adat yang memiliki makna sejarah, representasi sebuah komunitas pada zamannya dan kemajuan sebuah peradaban adalah rumah adat Dulohupa. Rumah adat Dulohupa adalah Rumah adat di daerah Gorontalo. Grontalo dalam bahasa masyarakat setempat adalah Hulondhalo. Rumah adat Dulohupa sebagai representasi kebudayaan masyarakat Gorontalo memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Rumah adat Dulohupa yang memiliki bentuk fisik panggung serta memiliki pilar kayu sebagai bagian dari hiasan merupakan rumah adat yang memiliki fungsi sebagai balai musyawarah, pengadilan kerajaan bagi pengkhianat kerajaan dengan sidang tiga tahap pemerintahan yaitu Buwatulo Bala (Tahap keamanan), Buwatulo Syara (tahap hukum agama Islam) dan Bawatulo Adati (Tahap hukum adat) dan merencanakan kegiatan pembangunan daerah serta menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat setempat.
Nama Dulohupa memiliki arti mufakat untuk merencanakan sebuah kegiatan pembangunan serta menyelesaikan persoalan masyarakat setempat maka rumah Dulohupa adalah tempat untuk bermusyawarah. Saat ini, rumah adat Dulohupa dipakai juga untuk upacara adat pernikahan. Saat ini rumah adat Dulohupa berada di kelurahan Limba, kecamatan kota Selatan, Kota Gorontalo. Tepatnya di seputaran jalan pulau kalengkoan, jalan Agus Salim serta jalan Tras limboto-Isimu.
Bangunan Rumah Dulohupa memiliki bagian-bagian khas yang menunjukan bahwa rumah Dulohupa sebagai tempat bermusyawarah dan representasi dari masyarakat Gorontalo.   Rumah Dulohupa yang biasa disebut masyarakat Gorontalo Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo terbuat dari kayu sebagai simbol dari rumah adat Gorontalo.
Rumah adat Dulohupa yang merupakan rumah panggung adalah bentuk kesadaran masyarakat Gorontalo pada zaman itu yang melihat bahwa kondisi lingkungan yang sering banjir sehingga dibangun rumah panggung yaitu rumah adat Dulohupa. Pada bagian atap berbentuk khas masyarakat Gorontalo yang terbuat dari jerami pilihan. Di dalam rumah ini terdapat perlengakapn untuk upacara perkawinan, pelaminan dan benda berharga lainnya. Selain itu, pada bagian belakang rumah terdapat anjungan yang biasanya menjadi tempat bagi raja dan kerabat istana untuk beristirahat dan bersantai. Rumah (panggung) adat Dulohupa memiliki kekhasan yang lain yaitu di depan rumah kedua belah sisinya terdapat anak tangga yang disebut Tolitihu.

30.Provinsi Maluku
Rumah Adat : Rumah Baileo

Rumah adat Baileo adalah Rumah adat di daerah Maluku. Rumah adat Baileo sebagai representasi kebudayaan masyarakat Maluku memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat Maluku.
Salah satu fungsi rumah adat Baileo adalah tempat untuk berkumpul seluruh warga. Perkumpulan warga di rumah adat Baileo merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka mendiskusikan permasalahn-permasalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat setempat. Selain itu, tempat ini memiliki fungsi lain yaitu tempat untuk menyimpan benda-benda keramat, tempat upacara adat dan sekaligus tempat untuk bermusyawarah.
Baileo merujuk pada rumah adat Baileo dalam Bahasa Indonesia memiliki arti Balai. Pengambilan nama Baileo menjadi nama rumah adat Baileo berdasarkan pada fungsi tempat rumah Baileo itu sendiri sebagai tempat untuk bermusyawarah bagi masyarakat adat atau kelompok-kelompok setempat. Rumah adat Baileo sebagai tempat bermusyawarah masyarakat setempat merupakan wujud demokrasi saat ini yang sudah dilakukan oleh masyarakat dulu di rumah adat Baileo. Musyawarah yang biasa dilakukan di rumah adat tersebut meliputi tetua adat, pimpinan adat, dan masyarakat setempat.
Ada beberapa simbol yang memberikan ciri bahwa itu adalah Rumah adat Balieo. Pertama, Batu Pamali.  Pada rumah adat Baileo posisi batu pamali berada di depan pintu tepat dimuka pintu rumah Balieo. Keberadaan batu pamali di muka pintu menunjukan bahwa rumah itu adalah balai adat. Batu pamalai adalah tempat untuk menyimpan sesaji. Selain itu, balai adat ini merupakan bangunan induk anjungan. Tiang-tiang yang menyangga rumah berjumlah sembilan yang berada di bagian depan dan belakang juga lima tiang di sisi kanan dan kiri merupakan lambang Siwa Lima. Siwa Lima adalah simbol persekutuan desa-desa di Maluku dari kelompok Siwa dan Kelompok Lima. Siwa Lima memiliki arti kita semua punya. 
Rumah adat Baileo merupakan rumah panggung. Posisi lantai berada diatas permukaan tanah. Baileo tidak berdinding hal itu dilakukan merujuk kepada kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini bahwa dengan tidak adanya jendela rumah adat Baileo maka roh-roh nenek moyang bebas untuk masuk atau keluar ke rumah Baileo. Hal yang lebih penting adalah dengan tidak adanya jendela maka saat bermusyawarah masyarakat yang melihat dari luar Baileo akan lebih mudah melihat. Lantai balai yang tinggi memiliki arti yaitu agar roh-roh nenek moyang memiliki tempat dan derajat yang tinggi dari tempat berdirinya masyarakat. Selain itu, masyarakat akan mengetahui bahwa permusyawaratan berlangsung dari luar ke dalam dan dari bawah ke atas. Pamali sebagai tempat persembahan dan bilik pamali sebagai tempat penyimpanan atau tempat meletakan barang-barang keramat masyarakat setempat berada di dekat pintu masuk rumah adat Baileo.
Pada rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran-ukiran bergambar dua ekor ayam berhadapan dan diapit oleh dua ekor anjing di sebelah kiri kanan. Posisi ukiran ini berada di ambang pintu. Ukiran tersebut mempunyai arti dan perlambang tentang kedamaian dan kemakmuran. Hal itu terjadi karena rog nenek moya yang menjaga masyarakat Maluku. Ukiran lainnya adalah bulan, bintang dan matahari yang berada di atap dengan warna merah-kuning dan hitam. ukiran tersebut melambangkan kesiapan balai adat dalam menjaga keutuhan adat beserta hukum adatnya.

31.Provinsi Maluku Utara
Rumah Adat : Rumah Baileo.


32.Provinsi Papua Barat
Rumah Adat : Rumah Honai.

Honai adalah rumah khas Papua.Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak.[1] Rumah Honai pada umumnya terbagi menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.[2] Dali rocks

33.Provinsi Papua
Rumah Adat : Rumah Honai.









Sumber:







0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 26 Januari 2014

Rumah Adat


RUMAH ADAT DI INDONESIA


1.Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD)  
            Rumah Adat : Rumah Krong Bade


   Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia. Jadi jika ada kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun yang terbakar, tanpa kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau gentong tempat menyimpan air. Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika seseorang ingin memasuki rumah. Karena letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka rumah ini membutuhkan tangga bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah anak tangga biasanya ganjil. Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik dan terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.

2.Provinsi Sumatera Utara (SUMUT) 
Rumah Adat : Rumah Bolon



Batak merupakan sebuah suku di Sumatera Utara. Suku ini memiliki rumah adat yang bernama Rumah Bolon. Bila diartikan bolon adalah besar, artinya rumah bolon adalah rumah besar karena memang ukurannya yang cukup besar. Perancang rumah Bolon ini ialah arsitektur kuno Simalungun. Rumah adat ini sekaligus menjadi simbol status sosial masyarakat Batak yang tinggal di Sumatera Utara.
Dulu rumah adat ini ditinggali orang para raja di Sumatera Utara. Ada 13 kerajaan yang bergantian menempati rumah Bolon, yaitu Tuan Ranjinman, Tuan Nagaraja, Tuan Batiran, Tuan Bakkaraja, Tuan Baringin, Tuan Bonabatu, Tuan Rajaulan, Tuan Atian, Tuan Hormabulan, Tuan Raondop, Tuan Rahalim, Tuan Karel Tanjung, dan Tuan Mogang.Tetapi kini rumah bolon menjadi rumah adat dan menjadi objek wisata di Sumatera Utara. Rumah Bolon memiliki kolong (bagian bawah rumah) yang tingginya sekitar dua meter. Kolong tersebut biasanya dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu, yang sering dipelihara adalah kerbau. Pintu masuk rumah adat ini, dahulunya memiliki dua macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal. Tetapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat
Pada bagian depan rumah Bolon, tepatnya di atas pintu terdapat gorga, sebuah lukisan berwarna merah, hitam, dan putih. Biasanya terdapat lukisan hewan seperti cicak, ular ataupun kerbau.
Dua hewan yang menjadi dekorasi rumah Bolon memiliki makna yang dalam. Pada gorga yang dilukis gambar hewan cicak bermakna, orang batak mampu bertahan hidup di manapun meski dia merantau ke tempat yang jauh sekalipun. Hal ini karena orang batak memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antara sesama sukunya. Sedangkan gambar kerbau bermakna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau telah membantu manusia dalam pekerjaan ladang masyarakat.
Keindahan rumah Bolon masih terus berlanjut. Atap yang menjadi pelindung rumah memiliki ciri khas yang unik. Dua ujung lancip di depan dan di belakang. Namun ujung pada bagian belakang lebih panjang agar keturunan dari yang memiliki rumah lebih sukses nantinya.
3.Provinsi Sumatera Barat (SUMBAR)  
Rumah Adat : Rumah Gadang

Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung. Tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun[2] dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut[3]. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang.
4.Provinsi Riau 
Rumah Adat : Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar

Rumah adat di daerah Riau bernama Selaso Jatuh Kembar. Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat.Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada halhal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai -walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriringkarena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik(Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.
Bangunan Balai Adat Melayu Riau pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna dari setiap ukiran.
·         Selembayung
Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu.
·         Hiasan pada pintu dan jendelah
Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap ramah tamah. Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar.


5.Provinsi Kepulauan Riau
Rumah Adat : Rumah Selaso Jatuh Kembar


6.Provinsi Jambi
Rumah Adat : Rumah Panjang

Rumah Tradisional Suku Dayak Kalimantan. Rumah ini memiliki bentuk memanjang dengan panjang kurang lebih dari 50 meter. Keunikan dari rumah ini terlihat dari bentuk bangunan dan banyaknya kepala keluarga yang tinggal di dalamnya. Namun sayang sekali rumah unik seperti ini suda jarang ditemukan, hanya beberapa bangunan saja yang bertahan dan masih berpenghuni.  
7.Provinsi Sumatera Selatan (SUMSEL)
Rumah Adat : Rumah Limas

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Sumatra Selatan. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua.Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.
8.Provinsi Bangka Belitung (BABEL)
          Rumah Adat : Rumah Rakit, Rumah Limas

Rumah rakit mewakili rumah terapung di sungai Musi. Rumah yang katanya berfungsi sebagai ruang pameran hasil kerajinan dari Sumatera Selatan ini dalam keadaan tertutup
9.Provinsi Bengkulu 
Rumah Adat : Rumah Rakyat


10. Provinsi Lampung 
Rumah Adat :NOWOU SESAT

Rumah Adat Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan
Rumah adat orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.
Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.
Arsitek tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir Saibatin .Begitu memasuki Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan melihat Lamban Dalom Kebandaran Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak Olokgading. Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan “Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir”. Bentuknya sangat unik dan khas dengan siger besar berdiri megah di atas bangunan bagian muka .
Sampai sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun temurun
Meskipun berada di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan acara-acara adat lain. Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Siger yang terbuat dari bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun temurun.Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang sudah ratusan tahun usianya disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas Lampung Pesisir seperti tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat musik khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.

11.Provinsi DKI Jakarta 
Rumah Adat : Rumah Kebaya


12.Provinsi Jawa Barat (JABAR)
Rumah Adat : Rumah Kasepuhan Cirebon

Rumah Kasepuhan atau Keraton Kasepuhan (Cirebon) ditilik dari namanya (Keraton Kasepuhan), rumah ini memang bukan hunian biasa, melainkan tempat bermukim Raja/Sultan Cirebon, sekaligus pusat pemerintahan. Arsitektur bangunan (-bangunan) bersejarah ini merupakan perpaduan unsur budaya Islam, Hindu-Budhha, Kristen (Barat), dan Konfusianisme (China). Keraton Kasepuhan didirikan sekitar tahun 1529 oleh Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Keraton ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati, yang merupakan keraton yang telah ada sebelumnya. Walaupun telah berusia tua, kompleks bangunan tradisional ini masih terawat dengan baik.
Berikut adalah bagian-bagian penting yang terdapat dalam kompleks Keraton Kasepuhan:
  • Pintu Gerbang Utama Keraton Kasepuhan
Pintu gerbang ini terletak di sebelah utara, sementara pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit  berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut LawangSanga (pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg (jembatan) Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton. Di bagian ini terdapat dua bangunan, yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
  • Bangunan Pancaratna
Berada di kiri depan kompleks arah Barat, berdenah persegi panjang, dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi, dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar besi.
  • Bangunan Pangrawit
Berada di kiri depan kompleks menghadap arah Utara. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel. Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi. Nama Pancaniti berasal dari panca berarti jalan, dan niti yang berarti mata atau raja atau atasan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira melatih prajurit, tempat istirahat, dan juga sebagai tempat pengadilan.
Halaman/kompleks dalam keraton kasepuhan Cirebon dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
  • Halaman Pertama
Setelah melewati Pancaratna dan Pancaniti selanjutnya memasuki halaman pertama. Untuk memasukinya, bisa melewati Gapura Adi atau Gapura Banteng. Gapura Adi berupa pintu gerbang berbentuk bentar berukuran 3,70 x 1,30 x 5 m menggunakan bahan bata. Gapura Adi ini berada di utara Siti Inggil. Gapura Benteng berupa pintu gerbang dengan bentuk bentar berukuran 4,50 x 9 m. Pintu ini lebih besar dan tinggi daripada Gapura Adi. Pada pipi tangga sebelah Timur terdapat stilirisasi bentuk banteng.
  • Halaman kedua
Halaman kedua dibatasi tembok bata. Pada pagar bagian Utara terdapat dua gerbang, yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng. Regol Pengada merupakan pintu gerbang masuk halaman ketiga dengan ukuran panjang dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah Timur Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini berbentuk kori agung  (gapura beratap) menggunakan bahan bata.
o   Halaman Ketiga
Halaman ketiga merupakan kompleks inti Keraton Kasepuhan.
13.Provinsi Banten
Rumah Adat : Rumah Badui

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
14.Provinsi Jawa Tengah (JATENG)
Rumah Adat : JOGLO Jawa Tengah.

15.Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) 
Rumah Adat : Bangsal Kencono Dan Rumah Joglo.

Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta adalah rumah adat yang berbentuk pendopo. Keraton merupakan tempat tinggal raja atau ratu. Keraton ini memiliki makna dan filosofi. Filosofi kehidupan hakikat seorang manusia, alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya, serta berbagai perlambangan kehidupan terpendam di dalamnya. Pada bagian depan Bangsal Kencono terdapat 2 patung batu Gupolo, yaitu raksasa yang memegang semacam pemukul berbentuk gada.

16.Provinsi Jawa Timur (JATIM)

          Rumah Adat : Rumah JOGLO Situbondo.

17.Provinsi Bali 
Rumah Adat : Rumah Gapura Candi Bentar.

Rumah Gapura Candi Bentar merupakan rumah adat resmi Provinsi Bali. Hunian tradisional ini tergolong salah satu yang terunik di tanah air. Dalam Rumah Gapura Candi Bentar—dan rumah adat Bali lainnya—nilai-nilai spiritualitas, tradisi, dan estetika, berpadu harmonis menghadirkan pesona kebudayaan yang adiluhung.
Istilah “Gapura Candi Bentar” sendiri sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang pada rumah-rumah tradisional Bali. Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi serupa dan sebangun, tetapi merupakan simetri cermin, yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung dibagian dalam oleh anak-anak tangga yang menjadi jalan masuk.
Selain di Pulau Bali, gapura dengan tipe seperti ini juga bisa dijumpai di Pulau Jawa dan daerah Lombok. Gapura Candi Bentar pertama kali mucul pada zaman Majapahit. Di area bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang serupa ini juga dikenal dengan sebutan “supit urang” (capit udang).Dari segi material, bahan bangungan yang digunakan bergantung pada tingkat kemapanan si pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan bata-bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan, menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk bagi yang ekonominya mampu, sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alang-alang atau genteng

18.Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Rumah Adat : Rumah Istana Sultan Sumbawa

Istana tempat tinggal raja Sumbawa  adalah nama sebuah pulau yang  terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau ini terdapat  dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Sumbawa. Sejarah mencatat, keberadaan Kabupaten Sumbawa atau Tana Samawa ini mulai dikenal sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning (1350-1389). Pada masa itu corak kerajaan masih bersifat hinduistis. Corak hindu pada Dinasti Dewa Awan Kuning berakhir pada masa kepemimpinan Raja Dewa Majaruwa. Raja Dewa Majaruwa memeluk Islam setelah kerajaan menjalin hubungan dengan kerajaan islam demak di Jawa sekitar tahun 1478-1597. Kemudian pada tahun 1623 kerajaan Dewa Awan Kuning ditaklukan oleh Kerajaan Goa sehingga kekuasaan Kerajaan Sumbawa pun berpindah pada Dinasti Dewa Dalam Bawa. Raja pertama begergelar Sultan Hanurasyid 1. Kerajaan ini berkuasa selama 3 abad di tanah Sumbawa. Dan sampai saat ini masih terdapat peninggalan kerajaan berupa rumah istana Sumbawa atau istana dalam loka.
Rumah istana Sumbawa atau Dalam Loka merupakan peninggalan bersejarah dari kerajaan yang berlokasi di kota Sumbawa Besar. Dalam Loka dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931) untuk menggantikan bangunan-bangunan istana yang telah dibangun di tanah tersebut sebelumnya karena telah lapuk dimakan usia bahkan hangus terbakar. Istana-istana itu diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Dalam Loka sendiri berasal dari dua kata yakni dalam yang berarti istana atau  rumah-rumah di dalam istana dan loka yang berarti dunia atau tempat. Jadi, Dalam Loka bermakna istana tempat tinggal raja.
Dalam Loka memiliki luas 696,98 m2 dengan 2 bangunan kembar yang ditopang oleh 98 tiang kayu jati dan 1 buah tiang pendek (tiang guru) yang terbuat dari pohon cabe. Secara keseluruhan jumlah tiang penopang adalah 99 tiang yang melambangkan 99 sifat Allah (asmaul husna). Bangunan dalam loka menghadap ke selatan atu tepatnya ke arah Bukit Sampar dan alun-alun kota. Pertama kali memsuki istana akan ditemukan susunan tangga yang menjadi ssatu-satunya jalan masuk ke istana. Tangga ini menyimbolkan bahwa siapapun harus menghormati raja. Hal ini tercermin dari keharusan membungkuk bagi siapapun yang melewati tangga ini. Di dalam komplek Dalam Loka terdapat dua bangunan kembar yang diberi nama Bala Rea atau graha besar. Bangunan ini tersusun dari beberapa bagian yang memiki fungsi masing-masing.
Di bagian depan bangunan terdapat ruangan bernama Lunyuk Agung yang berfungsi sebagai tempat musayawarah, resepsi atau acara pertemuan lainnya. Di sebelah Lunyuk Agung terdapat ruangan yang bernama Lunyuk Mas, fungsinya adalah sebagai ruangan khusus untuk permaisuri, istri-istri menteri dan staf penting kerajaan ketika dilangsungkan upacara adat. Ada juga yang disebut Ruang Dalam sebelah barat, ruangan-ruangan ini hanya disekat oleh kelambu fungsinya adalah sebagai tempat shalat, di sebelah utaranya merupakan kamar tidur permaisuri dan dayang-dayang. Ruang Dalam sebelah timur terdiri dari empat kamar dan diperuntukan bagi putra/putri raja yang sudah berumah tangga di ujung utara ruangan ini adalah kamar pengasuh rumah tangga istana. Di bagian belakang Bala Rea terdapat ruang sidang, pada malam hari ruangan ini dijadikan tempat tidur para dayang. Kamar mandi terletak di luar ruangan induk yang memanjang dari kamar peraduan raja hingga kamar permaisuri.
Dan yang terakhir adalah Bala Bulo berada di samping Lunyuk Mas, terdiri atas dua lantai, lantai pertama berfungsi sebagai tempat bermain putra/putri raja dan lantai kedua berfungsi sebagai tempat permaisuri dan istri para bangsawan saat menyaksikan pertunjukan di lapangan istana. Di luar komplek ini terdapat kebun istana (kaban alas), gapura atau tembok istana (bala buko), rumah jam (bala jam) dan tempat untuk lonceng istana. Bangunan ini dibangun dari bahan kayu jati yang didatangkan dari hutan jati imung dan atap terbuat dari seng yang didatangkan dari singapura. Arsitek dari bangunan ini adalah Imam Haji Hasyim.
Sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 yang kemudian pada tahun 1954 dijadikan rumah dinas “wisma praja” bupati Sumbawa, keadaan Dalam Loka sudah tidak terawat lagi. Pada tahun 1979 – 1985 dalam loka dipugar kembali oleh Departemen Kebudayaan. Kemudian di tahun 1993 Dalam Loka dijadikan sebagai Museum Dalam Loka. Dan pada tahun 2001 dalam loka mengalami pemugaran kembali yang didanai oleh proyek pelestarian sejarah dan purabakala nusa tenggara barat hasil kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang. Kini dalam loka telah mengalami beberapa kali pemugaran. Terakhir, tahun 2011 dilakukan revitalisasi kompleks Dalam Loka. Hanya saja proses revitalisasi ini masih harus berkesinambungan karena masih banyak yang harus diperbaiki dari bangunan bersejarah ini.
19.Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 
Rumah Adat : Rumah Musalaki

Musalaki adalah rumah khas Pulau Timor (dan pulau-pulau di wilayah Indonesia Timur) yang terbuat dari ijuk, berbentuk bulat, dan berfungsi sebagai dapur atau tempat menyimpan bahan pangan. Di sekitarnya biasanya tumbuh tanaman jagung yang nantinya disimpan di rumah tersebut.
20.Provinsi Kalimantan Barat (KALBAR) 
Rumah Adat : Rumah Istana Kesultanan Pontianak.


21.Provinsi Kalimantan Tengah (KALTENG)
Rumah Adat : Rumah Betang


22.Provinsi Kalimantan Selatan (KALSEL)
Rumah Adat : Rumah Banjar Bubungan Tinggi.

Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari keraton yang menjadi istana kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton) yang disebut Dalam Sirap (bahasa Jawa: ndalem) yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah Balai Seba pada tahaun 1780 pada masa pemerintahan Panembahan Batuah.

23.Provinsi Kalimantan Timur (KALTIM)
Rumah Adat : Rumah Lamin.

Sebagian besar penduduk Kalimantan Timur khususnya suku Dayak hidup secara berkelompok atau kekerabatan suku Dayak sangatlah kuat. Maka hal ini dibuktikan dengan rumah yang mereka bangun, sebagian besar rumah yang dibangun mereka secara berkelompom juga, selalu saja lebih dari 1 kepala kelaurga. Contohnya Rumah Adat Lamin yang diresmikan pada tahun 1987. Rumah yang berbentuk panggung tersebut tidak kurang dihuni 12 kepala keuarga atau skitar 50-100 orang. Diperkirakan ukuran rumah lamin sekitar dengan panjang mencapai 30 meter, lebar 15 meter dan tinggi sekitar 3 meter.
o   Ciri-ciri Rumah Lamin
Setiap rumah adat pastinya mempunya ciri khas yang menjadi daya tarik suku Dayak. Dalam rumah Lamin sendiri ada bebarapa ciri yang sangat kental seperti pada pada ukiran atap ada terdapat patung yang ebrbebtuk naga dan bunrung enggan. Yang mengandung arti kesaktian dan kewajiban masayarakat Dayak. Pada bagian dinding yang paling em,nonjol adalah dari segi warna. Rumah ini dominan dengan warna kuning, putih dan hitam yang berbentuk salur pakis dan mata yang masyarakat percaya mengandung makna suku Dayakmampu niat buruk orang lain yang akan  mencelakakan suku Dayak dan melambangkan persaudaraan suku Dayak. Selain itu juga pada bagian kaki yang berbnetuk ukiran kerangka manusia dan juga binatang wanita memakai kain, serta bentuk semi-abstrakyang melambangkan persaudaraan suku Dayak desa Pampang. Masayarat percya ukiran dan patung tersebut berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat mengingat kepercayaan suku Dayak yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan gaib atau animisme.
Bahan utama bangunan rumah adat Lamin adalah kayu ulin atau banyak orang yang menyebutnya sebagai kayu besi. Disebut kayu besi karena memang jenis kayu tersebut adalah kayu yang sangat kuat. Bahkan banyak orang mengatakan jika kayu ulin terkena air maka justru tingkat kekuatannya akan semakin keras. Mungkin hal inilah yang membuat banyak orang yang membangun rumah di atas dataran rawa atau pinggiran sungai namun tahan lama umur bangunannya. Selain bangunan, totem-totem yang ada di bagian depan Lamin juga terbuat dari bahan kayu ulin. Menurut saya pribadi, bangunan yang terbuat dari bahan kayu ulin memiliki kesan mewah karena warna hitam khasnya. Hanya saja menurut penduduk sekitar saat ini agak sulit untuk mencari pohon ulin karena ada alih konversi lahan serta perambahan hutan-hutan.
Di bagian dalam lamin terdapat beberapa alat yang biasa digunakan dalam melakukan upacara adat tertentu. Di bagian dalam Lamin sempat ada beberapa tengkorak kepala kerbau yang bertuliskan tanggal waktu. Menurut saya tanggal tersebut menunjukkan kapan seseorang tersebut meninggal. Dan juga Saya yakin tengkorak tersebut adalah bagian dari upacara melepas kematian yang biasa dilakukan oleh suku Dayak. ‘Menyembelih’ kerbau adalah rangkaian puncak dari upacara Kuangkai (lihat postingan saya sebelumnya) yang dilakukan untuk upacara kepergian seseorang yang telah meninggal).

24.Provinsi Sulawesi Utara (SULUT)
Rumah Adat : Rumah Pewaris


25.Provinsi Sulawesi Barat (SULBAR)
Rumah Adat : Rumah Tongkonan

                                           
26.Provinsi Sulawesi Tengah (SULTENG)
Rumah Adat : Rumah Tambi

Di Sulawesi Tengah, tempat tinggal penduduk disebut Tambi. Rumah ini merupakan tempat tinggal untuk semua golongan masyarakat.
Bentuk rumah ini segi persegi panjang dengan ukuran rata-rata 7x5 m2, menghadap ke arah utara-selatan, karena tidak boleh menghadap atau membelakangi arah matahari. Sekilas konstuksi rumah ini seperti jamur berbentuk prisma yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk.Keunikan rumah panggung ini adalah atapnya yang juga berfungsi sebagai dinding. Alas rumah tersebut terdiri dari susunan balok kayu, sedangkan pondasinya terbuat dari batu alam. Akses masuk ke rumah ini melalui tangga, jumlahnya berbeda sesuai tinggi rumahnya. Tambi yang digunakan masyarakat biasa memiliki anak tangga berjumlah ganjil dan untuk ketua adat berjumlah genap.
Tiang-tiang penopang rumah ini terbuat dari kayu bonati. Di dalamnya hanya terdapat satu lobona (ruangan utama) yang dibagi tanpa sekat dan memiliki kamar-kamar, hanya pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur) yang sekaligus menjadi penghangat ruangan ketika cuaca dingin. Penghuninya tidur menggunakan tempat tidur yang terbuat dari kulit kayu nunu (beringin).Di sekeliling dinding rumah ini membentang asari (para-para) yang serbaguna,  bisa dijadikan tempat tidur yang berpembatas, tempat penyimpanan benda pusaka atau benda-benda berharga lainnya.
Sebagai hiasan, biasanya rumah ini memiliki ukiran di bagian pintu dan dindingnya. Motif ukiran tersebut terutama berbentuk binatang atau tumbuh-tumbuhan. Terdiri atas ukiran pebaula (kepala kerbau) dan bati (ukiran berbentuk kepala kerbau, ayam dan babi). Pebaula meurpakan simbol kekayaan, dan bati merupakan simbol kesejahteraan dan kesuburan.
Pada motif tumbuhan (pompininie) biasanya terbuat dari beragam kain kulit kayu berwarna-warni, dibentuk menjadi motif bunga-bunga yang kemudian diikat dengan rotan. Kain kulit kayu ini merupakan hasil tenunan tradisional dari kulit kayu nunu dan ivo.  Konon, pompeninie ini memiliki kekuatan magis yang dapat menangkal gangguan roh jahat.
Karena Tambi hanya memiliki satu ruang utama, maka ia memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu Buho (terkadang disebut gampiri). Bangunan yang memiliki dua lantai ini,  berfungsi sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu (lantai bawah), dan sebagai lumbung padi (lantai atas). Karena fungsinya sebagai tempat menerimatamu, maka letaknya tak jauh dari Tambi.
Bangunan lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang disebut iso berbentuk segi empat panjang bertiang 4 buah dan kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso busa
27.Provinsi Sulawesi Tenggara (SULTRA)
Rumah Adat : Rumah Istana Buton / Malige

Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
28.Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL) 
Rumah Adat : Rumah Tongkonan

Mendengar Tana Toraja yang pertama kali terpikir ialah Sulawesi Selatan dan yang kedua adalah rumah tongkonan. Tepat sekali, bahwa rumah tongkonan merupakan rumah adat Tana Toraja. Rumah adat ini memiliki bentuk unik menyerupai perahu dari kerajaan Cina pada zaman dahulu. Tongkonan juga disebut-sebut mirip dengan rumah adat asal Sumatera Barat, yaitu rumah gadang.  Rumah adat inimasih ditinggali sebagai tempat beraktivitas sehari-hari. 
“Tongkonan” sendiri berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk. Tongkonan difungsikan untuk pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja pada zaman dahulu. Rumah ini merupakan warisan secara turun-temurun dari nenek moyang rang Tana Toraja.Rumah ini tidak bisa dimiliki perorangan
Rumah tongkonan dianggap sebagai ibu oleh Masyarakat Toraja. Sedangkan bapaknya adalah alang sura (lumbung padi). Rumah tongkonan memiliki tiga bagian di dalamnya, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Tengalok, yaitu ruangan di bagian utara berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat anak-anak tidur, serta tempat menaruh sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan sebelah utara merupakan ruangan untuk kepala keluarga namun juga dianggap sebagai sumber penyakit.  Ruangan yang terakhir, yaitu ruangan bagian tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, Tongkonan Pekaindoran atau Pekaindoran, dan Togkonan Batu A’riri merupakan jenis tongkonan yang memiliki fungsi secara khusus. Pertama, Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, yaitu tempat untuk menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Jenis kedua Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan, yaitu Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk. Tongkonan Batu A’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.

Utara merupakan arah yang penting bagi rumah adat tongkonan dan masyarakat Tana Toraja. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Utara dan ujung atap yang berdiri berjejer mengarah ke utara merupakan lambing bahwa leluhur mereka berasal dari utara dan di waktunya nanti mereka akan berkumpul kembali di utara.
Kepala kerbau tak bisa dipisahkan dari rumah adat tongkonan. Kepala kerbau menjadi ciri khas dari rumah tongkonan. Kepala kerbau tersebut ditempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan rumah semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut. Tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi keluarga yang mendiami rumah tersebut saat upacara penguburan anggota keluarganya.
Kerbau dikurbankan dalam jumlah yang banyak setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman. Tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Aluk To Dolo merupakan empat warna dasar, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih mewakili kepercayaan asli Toraja. Kematian dan kegelapan dilambangkan dengan warna hitam, sementara kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah merupakan warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sementara daging dan tulang dilambangkan dengan warna putih yang artinya suci.
Di sisi barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Keunikan yang terdapat di rumah tongkonan ialah tidak digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.
Rumat adat Tana Toraja, Tongkonan, oleh pemerintah diajukan untuk masuk dalam daftar warisan budaya dunia United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 2010.

29.Provinsi Gorontalo
Rumah Adat : Rumah Dulohupa dan Rumah Pewaris.

Salah satu dari banyak rumah adat yang memiliki makna sejarah, representasi sebuah komunitas pada zamannya dan kemajuan sebuah peradaban adalah rumah adat Dulohupa. Rumah adat Dulohupa adalah Rumah adat di daerah Gorontalo. Grontalo dalam bahasa masyarakat setempat adalah Hulondhalo. Rumah adat Dulohupa sebagai representasi kebudayaan masyarakat Gorontalo memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Rumah adat Dulohupa yang memiliki bentuk fisik panggung serta memiliki pilar kayu sebagai bagian dari hiasan merupakan rumah adat yang memiliki fungsi sebagai balai musyawarah, pengadilan kerajaan bagi pengkhianat kerajaan dengan sidang tiga tahap pemerintahan yaitu Buwatulo Bala (Tahap keamanan), Buwatulo Syara (tahap hukum agama Islam) dan Bawatulo Adati (Tahap hukum adat) dan merencanakan kegiatan pembangunan daerah serta menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat setempat.
Nama Dulohupa memiliki arti mufakat untuk merencanakan sebuah kegiatan pembangunan serta menyelesaikan persoalan masyarakat setempat maka rumah Dulohupa adalah tempat untuk bermusyawarah. Saat ini, rumah adat Dulohupa dipakai juga untuk upacara adat pernikahan. Saat ini rumah adat Dulohupa berada di kelurahan Limba, kecamatan kota Selatan, Kota Gorontalo. Tepatnya di seputaran jalan pulau kalengkoan, jalan Agus Salim serta jalan Tras limboto-Isimu.
Bangunan Rumah Dulohupa memiliki bagian-bagian khas yang menunjukan bahwa rumah Dulohupa sebagai tempat bermusyawarah dan representasi dari masyarakat Gorontalo.   Rumah Dulohupa yang biasa disebut masyarakat Gorontalo Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo terbuat dari kayu sebagai simbol dari rumah adat Gorontalo.
Rumah adat Dulohupa yang merupakan rumah panggung adalah bentuk kesadaran masyarakat Gorontalo pada zaman itu yang melihat bahwa kondisi lingkungan yang sering banjir sehingga dibangun rumah panggung yaitu rumah adat Dulohupa. Pada bagian atap berbentuk khas masyarakat Gorontalo yang terbuat dari jerami pilihan. Di dalam rumah ini terdapat perlengakapn untuk upacara perkawinan, pelaminan dan benda berharga lainnya. Selain itu, pada bagian belakang rumah terdapat anjungan yang biasanya menjadi tempat bagi raja dan kerabat istana untuk beristirahat dan bersantai. Rumah (panggung) adat Dulohupa memiliki kekhasan yang lain yaitu di depan rumah kedua belah sisinya terdapat anak tangga yang disebut Tolitihu.

30.Provinsi Maluku
Rumah Adat : Rumah Baileo

Rumah adat Baileo adalah Rumah adat di daerah Maluku. Rumah adat Baileo sebagai representasi kebudayaan masyarakat Maluku memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat Maluku.
Salah satu fungsi rumah adat Baileo adalah tempat untuk berkumpul seluruh warga. Perkumpulan warga di rumah adat Baileo merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka mendiskusikan permasalahn-permasalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat setempat. Selain itu, tempat ini memiliki fungsi lain yaitu tempat untuk menyimpan benda-benda keramat, tempat upacara adat dan sekaligus tempat untuk bermusyawarah.
Baileo merujuk pada rumah adat Baileo dalam Bahasa Indonesia memiliki arti Balai. Pengambilan nama Baileo menjadi nama rumah adat Baileo berdasarkan pada fungsi tempat rumah Baileo itu sendiri sebagai tempat untuk bermusyawarah bagi masyarakat adat atau kelompok-kelompok setempat. Rumah adat Baileo sebagai tempat bermusyawarah masyarakat setempat merupakan wujud demokrasi saat ini yang sudah dilakukan oleh masyarakat dulu di rumah adat Baileo. Musyawarah yang biasa dilakukan di rumah adat tersebut meliputi tetua adat, pimpinan adat, dan masyarakat setempat.
Ada beberapa simbol yang memberikan ciri bahwa itu adalah Rumah adat Balieo. Pertama, Batu Pamali.  Pada rumah adat Baileo posisi batu pamali berada di depan pintu tepat dimuka pintu rumah Balieo. Keberadaan batu pamali di muka pintu menunjukan bahwa rumah itu adalah balai adat. Batu pamalai adalah tempat untuk menyimpan sesaji. Selain itu, balai adat ini merupakan bangunan induk anjungan. Tiang-tiang yang menyangga rumah berjumlah sembilan yang berada di bagian depan dan belakang juga lima tiang di sisi kanan dan kiri merupakan lambang Siwa Lima. Siwa Lima adalah simbol persekutuan desa-desa di Maluku dari kelompok Siwa dan Kelompok Lima. Siwa Lima memiliki arti kita semua punya. 
Rumah adat Baileo merupakan rumah panggung. Posisi lantai berada diatas permukaan tanah. Baileo tidak berdinding hal itu dilakukan merujuk kepada kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini bahwa dengan tidak adanya jendela rumah adat Baileo maka roh-roh nenek moyang bebas untuk masuk atau keluar ke rumah Baileo. Hal yang lebih penting adalah dengan tidak adanya jendela maka saat bermusyawarah masyarakat yang melihat dari luar Baileo akan lebih mudah melihat. Lantai balai yang tinggi memiliki arti yaitu agar roh-roh nenek moyang memiliki tempat dan derajat yang tinggi dari tempat berdirinya masyarakat. Selain itu, masyarakat akan mengetahui bahwa permusyawaratan berlangsung dari luar ke dalam dan dari bawah ke atas. Pamali sebagai tempat persembahan dan bilik pamali sebagai tempat penyimpanan atau tempat meletakan barang-barang keramat masyarakat setempat berada di dekat pintu masuk rumah adat Baileo.
Pada rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran-ukiran bergambar dua ekor ayam berhadapan dan diapit oleh dua ekor anjing di sebelah kiri kanan. Posisi ukiran ini berada di ambang pintu. Ukiran tersebut mempunyai arti dan perlambang tentang kedamaian dan kemakmuran. Hal itu terjadi karena rog nenek moya yang menjaga masyarakat Maluku. Ukiran lainnya adalah bulan, bintang dan matahari yang berada di atap dengan warna merah-kuning dan hitam. ukiran tersebut melambangkan kesiapan balai adat dalam menjaga keutuhan adat beserta hukum adatnya.

31.Provinsi Maluku Utara
Rumah Adat : Rumah Baileo.


32.Provinsi Papua Barat
Rumah Adat : Rumah Honai.

Honai adalah rumah khas Papua.Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak.[1] Rumah Honai pada umumnya terbagi menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.[2] Dali rocks

33.Provinsi Papua
Rumah Adat : Rumah Honai.









Sumber:








Diberdayakan oleh Blogger.
 
Template Indonesia | My Indonesia
Aku cinta Indonesia